Beralaskan Tanah, Ruang Kelas Sering Dikira Kandang Ternak

- Jumat, 3 Mei 2019 | 14:19 WIB

Mengenyam pendidikan merupakan hak setiap anak bangsa. Bahkan perjuangan agar anak-anak Indonesia bisa mendapatkan pendidikan sudah dimulai sejak zaman penjajahan. Kala Ki Hajar Dewantara menentang kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang hanya memperbolehkan anak-anak kelahiran Belanda atau orang kaya yang bisa bersekolah.

 

AGUS PRASETYO, Sekatak

 

Suaranya sedikit nyaring terdengar di antara dua anak didik yang berada di dalam kelas. Ruang kelas yang sangat-sangat sederhana. Atau malah boleh dikatakan tidak layak disebut sebagai ruang kelas.

Di ruangan kayu beralas tanah itu, Tania Ipat, mengabdikan diri sebagai pendidik di kelas filial SDN 006 Sekatak Bengara, Bulungan. Bersama satu rekan guru lainnya, Tania tetap setia mengabdi untuk mencerdaskan anak-anak di desa tersebut.

Di ruang kelas berukuran sekitar 4x4 meter persegi tersebut, hanya memiliki fasilitas satu papan tulis, satu meja guru, serta dua meja kursi dari kayu, yang dibuat oleh masyarakat setempat. Murid yang bersekolah juga tidak pernah tetap. Terkadang hanya dua orang, seperti saat Rakyat Kaltara mengunjunginya, Jumat (26/4) lalu. Tapi terkadang jumlah murid yang datang bisa sampai 6 orang. Jika semua murid hadir, maka satu bangku terpaksa digunakan tiga murid yang duduk berhimpitan.

Ruang kelas beratap seng tersebut, juga digunakan untuk kegiatan belajar tiga kelas. Yakni kelas 1 hingga kelas 3. “Bangunan sekolah yang sederhana ini dibangun secara swadaya oleh masyarakat di sini,” ujar Tania kepada Rakyat Kaltara.

Walau kondisinya bisa dikata belum layak, namun ruang kelas tersebut sudah jauh lebih baik dari kondisi sebelumnya. Karena awal dibangun, ruang kelas tersebut hanya menggunakan atap daun.

“Dulu lebih memprihatinkan lagi, karena atap hanya beralaskan daun. Kalau sudah hujan lebat, terlempar daunnya karena angin,” ungkapnya.

Satu hal yang membuatnya hingga sekitar 6 tahun bisa bertahan mengajar di sekolah tersebut, adalah rasa kepercayaan yang besar dari masyarakat setempat kepada dirinya, guna memberikan pendidikan dasar kepada anak-anak mereka. Minimal bisa mengenal berhitung dan membaca.

“Masyarakat di sini juga menghibahkan tanahnya untuk bangunan sekolah ini. Kemudian mereka juga yang membangun sekolah secara swadaya,” terangnya.

Padahal, gaji yang diterimanya sebagai guru di kelas jauh tersebut bisa dikatakan cukup rendah. Hanya Rp 500 ribu. “Itupun paling cepat dibayar 3 bulan, paling lama 6 bulan,” tuturnya.

Hal yang cukup sulit dihadapinya selama ini, bukan disebabkan kondisi bangunan yang tidak layak. Namun bagaimana mengubah pola pikir masyarakat, terutama para orangtua anak didiknya, agar lebih mengutamakan pendidikan anaknya. Sebab, orangtua murid di sekolah tersebut, masih sering membiarkan anaknya tidak sekolah, karena harus dibawa serta ke dalam hutan untuk berladang. Itulah yang membuat jumlah kehadiran muridnya sangat rendah.

“Tapi perlahan-lahan terus saya kasih pengertian ke orangtua anak-anak ini bahwa pendidikan itu harus nomor satu,” terangnya.

Halaman:

Editor: uki-Berau Post

Tags

Rekomendasi

Terkini

Ini Dia Delapan Aksi Konvergensi Tekan Stunting

Kamis, 25 April 2024 | 12:30 WIB

Dewan Negara Malaysia Kagum Perkembangan Krayan

Kamis, 25 April 2024 | 09:30 WIB

Gubernur Kaltara Sebut Arus Mudik-Balik Terkendali

Selasa, 23 April 2024 | 11:15 WIB

PLBN Sei Menggaris Segera Operasional

Sabtu, 20 April 2024 | 15:30 WIB

Pemkab Bulungan Beri Keringanan BPHTB

Sabtu, 20 April 2024 | 11:50 WIB
X