Datu Norbeck menerima penghargaan dari Kemendikbud pada Kamis (10/10) lalu, di malam Anugerah Budaya 2019. Ia nobatkan sebagai budayawan di kategori pelestari seni tradisi atas dedikasinya melestarian tradisi budaya suku Tidung.
MUHAMMAD RAJAB, Tarakan
DATU Norbeck memiliki tekad kuat melestarikan kebudayaan suku Tidung. Pria kelahiran Tarakan, 14 Mei 1956, ini telah mendedikasikan sebagian usianya untuk pelestarian budaya Tidung.
Selama 34 tahun ia mempelajari lalu mengajarkannya kepada orang-orang yang ingin mempelajari kebudayaan Tidung, terutama seni tari. Di awali pada 1979, Datu Norbeck mempelajari tradisi seni budaya Tidung secara otodidak, karena memang tidak ada sekolah yang mengajarkan. Ia belajar dan bertanya kepada orang yang mengerti tentang budaya Tidung.
Ancaman pudarnya seni tradisi suku Tidung menjadi alasan mendasarnya. Sebagai orang yang memiliki keturunan suku Tidung dari ayahnya, Datu Norbeck muda ketika itu merasa terpanggil mempelajarinya.
“Ini barangkali bahasa sombongnya kepedulian. Karena apa? Karena prihatin terhadap seni budaya tradisi suku Tidung yang saya lihat semakin pudar dan ada kekhawatiran akan punah,” ujar pria berusia 63 tahun ini kepada Harian Rakyat Kaltara, Selasa (16/10).
Mengapa ia khawatir? Karena bagi Datu Norbeck, melestarikan budaya dan tradisi memiliki nilai-nilai adiluhur. Budaya dan tradisi bukanlah suatu konsep yang dikarang-karang, melainkan lahir dari suatu pengalaman manusia yang berproses secara turun-temurun dan jangka waktu panjang.
Budaya dan tradisi juga tidak sama di setiap daerah. Karena sangat dipengaruhi oleh alam yang berbeda. Budaya dan tradisi membuat sebagian dari kehidupan manusia akan menjadi mudah. Apabila seseorang berpindah ke daerah lain, lain pula budaya dan tradisinya. Karena itu, ia tertarik untuk melestarikannya.
Pada 1985, Datu Norbeck kemudian membentuk grup seni yang dalam perjalanannya menjadi sanggar budaya tradisional Paguntaka dan bertahan hingga sekarang. Rumahnya dijadikan tempat belajar.
“Itulah yang berjalan sampai sekarang sudah 34 tahun. Jadi waktu yang begitu panjang, juga termasuk bagian dari kriteria untuk mendapatkan penghargaan itu tadi,” ungkap alumni Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan ini.
Hampir setiap hari rumah pria yang tinggal di Jalan Cendrawasih, Kelurahan Karang Anyar Pantai ini didatangi warga yang ingin belajar. Tidak hanya kelompok pemula, tapi juga lanjutan hingga senior, dengan latar belakang usia beragam, mulai dari pelajar, mahasiswa hingga guru sekolah. Ia mengatur jadwal bagi mereka yang ingin belajar berdasarkan kelompok.
Bagi Datu Norbeck, mempelajari budaya dan tradisi tidaklah rumit. Modal utama adalah kemauan. Selain itu, ia juga memegang teguh prinsip kejujuran dalam memahami sesuatu. Ia mencontohkan dengan memperhatikan sebuah kursi, tidak boleh berimajinasi terlebih dulu bagaimana bentuknya, melainkan harus mempelajarinya. Jika langsung berandai-andai, hal itu dinilai tidak jujur.
Selain belajar dari masyarakat, pria yang telah dikaruniai 5 anak dan 7 cucu ini pernah belajar juga di padepokan seni di Jogjakarta. Dari situ dia punya pemahaman bahwa untuk memahami budaya dan tradisi ada semacam rumus yang diterapkan.