Omnibus Law Dianggap Terobosan Baik

- Senin, 9 Maret 2020 | 12:39 WIB
Deddy Yevri Hanteru Sitorus
Deddy Yevri Hanteru Sitorus

TANJUNG SELOR – Legal drafting Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law belum sampai ke pemerintah daerah. Bukan hanya itu, bahkan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sekalipun tidak semuanya memiliki draf RUU tersebut. 

Anggota Komisi VI DPR RI, Deddy Yevri Hanteru Sitorus saat ditemui mengaku belum menerima draf RUU omnibus law. Kata dia, seluruh anggota DPR RI belum menerima dan membaca draf tersebut. Pasalnya, sejak pemerintah pusat menyerahkan ke DPR RI, hanya diterima oleh kalangan pimpinan.

“Saya belum bisa berbicara lebih jauh, karena belum mendapatkan draft-nya. Versi yang sudah dibagikan ke DPR RI, sampai saat ini belum dibagi ke anggota. Kemungkinan setelah akhir bulan ini, akan dibagi ke semua,” katanya pekan kemarin.

Dia perpandangan, omnibus law adalah terobosan atas kendala berinvestasi di negara ini. Lima tahun yang lalu, pemerintah sudah memacu, mengalokasikan, dan mengerjakan begitu banyak proyek infrastruktur dengan tujuan memangkas biaya logistik dan memancing investasi masuk ke Indonesia yang pada gilirannya diharapkan menciptakan lapangan kerja dan menumbuhkan ekonomi.

Namun, upaya itu terkendala dengan bayaknya aturan yang tumpang tindih, saling bertabrakan, bahkan terjadi disharmoni antara aturan di pusat dan daerah.

“Hal itulah yang membuat pemerintah akhirnya mengajukan omnibus law. Jadi omnibus law ini sebenarnya baik. Namun sekali lagi, saya belum membaca apa saja yang menjadi persoalan di masyarakat dan daerah,” ujarnya.

Lanjut dia, jika pemerintah daerah khawatir adanya pemangkasan kewenangan daerah, maka harus diperjelas apa saja yang menjadi kewenangan dan apa saja yang diambil oleh pusat.

“Pertanyaan saya, apakah pemerintah daerah sudah baca atau belum draf-nya. Jika sudah mengetahui dan membaca, silakan disampaikan ke pemerintah dan DPR RI. Ada keberatan, tertentu harus segera disampaikan. Sebab terkadang, kewenangan yang dalam tanda kutip, sering membuat investor tidak jadi berinvestasi,” sebut dia.

Ia juga menyarankan, perizinan di Indonesia sebaiknya hanya satu dan tidak banyak. Misalnya di negara lain seperti Qatar, Uni Emirat Arab dan lainnya, hanya empat jam mengurus izin, sudah bisa membangun dan berinvestasi apapun. Berbeda di Indonesia, katanya Yevry, memasukan perizinan harus menunggu dua tahun lamanya untuk baru dapat diterbitkan.

“Dua tahun kemudian baru keluar izinnya. Selama dua tahun menunggu, padahal bisnis direncanakan sekarang dengan asumsi tertentu dan resiko tertentu. Jika dua tahun lagi kan berbeda. Keadaan, baik anggaran maupun pasar pastinya berbeda,” jelasnya.

Ia menambahkan, pemerintah juga harus melihat kewenangan mana yang bisa diambil daerah. Sebaliknya, pemerintah juga harus memami alasan mengambil kewenangan daerah.

“Apakah kewenangan yang selama ini sudah dipergunakan untuk mempermudah setiap investasi atau memacu pertumbuhan ekonomi. Atau sebaliknya, tidak digunakan untuk hal tersebut. Itu yang harus dilihat terlebih dahulu,” tutupnya. (*/fai/mua)

Editor: uki-Berau Post

Tags

Rekomendasi

Terkini

Ini Dia Delapan Aksi Konvergensi Tekan Stunting

Kamis, 25 April 2024 | 12:30 WIB

Dewan Negara Malaysia Kagum Perkembangan Krayan

Kamis, 25 April 2024 | 09:30 WIB

Gubernur Kaltara Sebut Arus Mudik-Balik Terkendali

Selasa, 23 April 2024 | 11:15 WIB

PLBN Sei Menggaris Segera Operasional

Sabtu, 20 April 2024 | 15:30 WIB

Pemkab Bulungan Beri Keringanan BPHTB

Sabtu, 20 April 2024 | 11:50 WIB
X