TANJUNG SELOR - Pro dan kontra rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law atau Perampingan Aturan mengalir dari berbagai komponen. Mulai kalangan buruh, mahasiswa, dosen, termasuk pengamat politik.
Dosen Hubungan Tata Negara dan Lingkungan Hidup Universitas Borneo Tarakan (UBT) Yasser Arafat berpendapat, tujuan Omnibus Law pada dasarnya cukup baik karena menyederhanakan regulasi dan perizinan berusaha dalam rangka meningkatkan ekosistem investasi. Mengingat birokrasi perizinan di Indonesia yang memakan waktu panjang.
"Omnibus Law seperti dalam RUU Cipta Kerja ini diperlukan untuk menarik investasi. Kendati demikian, ada yang harus menjadi catatan proses penyusunan RUU Cipta Kerja, yaitu transparan dan jangan sampai mengabaikan kepentingan lingkungan hidup," sebutnya kepada media ini, kemarin.
Kerusakan lingkungan terjadi menurutnya, karena pemerintah mengejar pertumbuhan ekonomi. Oleh sebab itu, ia berharap RUU Cipta Kerja harus bisa menemukan titik keseimbangan antara mengejar pertumbuhan ekonomi dengan menjaga kepentingan pelestarian lingkungan hidup.
“Aksi yang dilakukan mahasiswa wajar di era demokrasi seperti saat ini. Demonstrasi turun ke jalan jadi salah satu jalur aspirasi dari masyarakat untuk memberikan masukan pada perumus RUU Cipta Kerja,” ujarnya.
Menurutnya, ada banyak hal yang patut untuk dikritisi dalam RUU tersebut. Salah satunya dalam konteks perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Yang mana diubahnya Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terkait dengan pertanggungjawaban mutlak.
“Ada frasa yang hilang yakni ‘tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan’. Ini berpotensi mengaburkan pengertian pertanggungjawaban mutlak. Prinsip pertanggungjawaban mutlak atau strict liability adalah prinsip yang menegaskan bahwa perorangan atau korporasi bertanggung jawab atas terjadinya kerusakan lingkungan hidup yang berada di dalam rentang kendalinya, tanpa perlu dibuktikan unsur kesalahan,” ujarnya.
Ia menambahkan, pasal tersebut pernah digugat ke Mahkamah Konstitusi oleh Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia, dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia sebab dinilai merugikan.
“Saya setuju dengan semangat dibuatnya Omnibus Law. Tetapi dari segi kontennya, ada banyak hal yang harus dikritisi. Salah satunya yang berkaitan dengan lingkungan hidup,” ujarnya. (*/mts/mua)