TARAKAN - Sidang dugaan korupsi pembangunan sarana prasarana di SD Negeri 052 Tarakan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan 2 orang ahli.
Sidang dengan terdakwa terdakwa HR alias Lilis digelar secara online dari Pengadilan Tipikor Samarinda, Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Tarakan dan Kantor Kejaksaan Negeri Tarakan.
Dua saksi ahli yang dihadirkan, yakni Andi Arfan dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) dan Aris Irawan sebagai ahli pidana dari Universitas Borneo Tarakan.
“Keterangan para ahli, LKPP menerangkan terkait swakelola itu sesuai Peraturan Lembaga LKPP Nomor 8 Tahun 2018 tentang Swakelola sebagai masyarakat swakelola dilarang mengalihkan pekerjaan kepada pihak lain. Dasar hukumnya Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Barang dan Jasa,” terang Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Tarakan Adam Saimima melalui Kasi Intel Harismand, Selasa (12/7).
Ahli juga menerangkan, pemalsuan laporan keterangan pertanggungjawaban (LKPj), berita acara serah terima yang tidak sesuai kenyataan. Bahkan, tidak sesuai dengan etika pengadaan barang Pasal 7 huruf a Perpres Nomor 16 Tahun 2018. Pelaksanaan swakelola tidak diperkenankan mengambil keuntungan.
“Kalau ahli pidana dari UBT mengatakan perbuatan terdakwa sudah memenuhi unsur Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tipikor. Menyalahgunakan kewenangan sesuai dakwaan JPU,” jelasnya.
Sementara dalam sidang yang digelar Jumat (8/7) pekan lalu, JPU menghadirkan saksi Wildan Hilmi dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan saksi ahli teknik dari UBT. Keterangan ahli BPKP, lanjut Harismand, hasil audit menemukan adanya kerugian negara akibat perbuatan terdakwa sebesar Rp 462 juta. Termasuk selisih beberapa item tentang kekurangan volume pada pekerjaan tersebut.
“Ada keretakan bangunan yang masih dalam kategori rusak ringan dengan biaya perbaikan Rp 220 juta,” sebutnya.
Semua keterangan ahli, terdakwa membenarkan dan tidak ada membantah. Dalam sidang pekan lalu, JPU melanjutkan meminta keterangan terdakwa. Sementara dari terdakwa sendiri tidak ada meminta waktu untuk menghadirkan saksi meringankan.
Terdakwa mengakui sudah memihak ketigakan proyek pembangunan sekolah kepada Abdul Jalil, yang langsung ditunjuk. Selain itu terdakwa membenarkan tidak melibatkan Panitia Pembangunan Sekolah (P2S).
Terdakwa menerangkan juga bendahara hanya bertugas mencairkan dana saja. Dengan perintah terdakwa, bendahara mengirimkan uang yang sudah dicairkan ke rekening pribadinya. “Menyuruh para guru untuk membuat LPj menggunakan nota atau kwitansi kosong maupun stempel. Untuk menyesuaikan buku kas umum yang dibuat terdakwa,” ungkapnya.
Pihaknya menegaskan, terdakwa mengakui hanya membayar Rp 1,3 miliar kepada Abdul Jalil dari anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar Rp 2.157.450.000 dan membuat berita acara serah terima yang tidak sesuai di lapangan. Sisa dari anggaran DAK sebagian ditransfer kepada Jumino sekitar Rp 800 juta dan membayar pajak instalasi listrik.
“Kami menduga ini hanya keterangan terdakwa saja. Kami beranggapan hanya alibi terdakwa. Padahal Jumino ini tak ada orangnya dan tidak dijadikan DPO. Tapi terdakwa mengakui sebagian besar uang digunakan untuk keperluan pribadi dan sisanya ditransfer ke Jumino,” tutupnya. (sas/uno)